Rumuskan Penataan Ulang Sistem HGU di 100 Hari Kerja, Menteri Nusron Wajibkan 20% Plasma Bagi Masyarakat

Penaindonews.com, Jakarta – Pada 100 hari kerjanya menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Kabinet Merah Putih, Nusron Wahid telah merumuskan sejumlah kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu kebijakan utamanya yaitu terkait penataan ulang sistem dan tata cara pemberian, perpanjangan, serta pembaruan Hak Guna Usaha (HGU).

“Sebagai langkah reformasi, Kementerian ATR/BPN kini mewajibkan setiap permohonan HGU baru untuk menyediakan 20 persen dari total lahan sebagai plasma bagi masyarakat,” ujar Menteri Nusron dalam Rapat Kerja bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (30/01/2025).

Lebih lanjut Menteri Nusron menjelaskan, pihak Kementerian ATR/BPN telah bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk implementasi kebijakan tersebut. Ia menyebut bahwa kebijakan pemberian plasma ini berlaku untuk pengajuan HGU untuk pertama kali, perpanjangan, dan pembaruan HGU. “Hal ini untuk lebih mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, prinsip pemerataan namun tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi,” jelasnya.

Kebijakan tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun. Kebijakan ini juga merujuk pada Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, yang menambahkan ketentuan bahwa setelah masa perpanjangan berakhir, pemegang hak dapat memperoleh pembaruan HGU untuk jangka waktu hingga 35 tahun lagi.

Masih terkait HGU, di 100 Hari Kerja ini ia menyebut bahwa Kementerian ATR/BPN telah berhasil melakukan penertiban pendaftaran dan penerbitan sertipikat HGU untuk 537 Badan Hukum yang sudah mempunyai Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit.

“Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 42 Ayat 1 menyatakan bahwa orang atau badan hukum yang melakukan budidaya perkebunan maupun pengolahan hasil perkebunan wajib memiliki izin usaha perkebunan dan/atau HGU atas tanah. Namun, pada tanggal 26 Oktober 2016, pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga menjadi wajib memiliki IUP dan HGU,” terang Menteri Nusron.

Akibat perubahan ini, ditemukan 537 perusahaan pemegang IUP tetapi tidak memiliki HGU. Jika dihitung luasnya berdasarkan izin usaha perkebunan (IUP), totalnya mencapai 2,5 juta hektare.

“Dari 2,5 juta hektare itu, yang telah terbit hak atas tanahnya sebelum kami menjabat sebagai menteri ada 193 perusahaan dengan luas 283.280,85 hektare. Yang sudah dalam proses pengajuan izin ke kami hingga batas waktu 3 Desember ada 150 perusahaan dengan luas 1.144.427,46 hektare. Saat ini sedang dalam proses identifikasi untuk dicocokkan apakah lahan tersebut bertabrakan dengan kawasan hutan atau tidak,” terang Menteri Nusron.

Hadir mendampingi Menteri Nusron secara luring dalam Rapat Kerja kali ini, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Ossy Dermawan; serta para Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama Kementerian ATR/BPN. Hadir secara daring, seluruh Kepala Kantor Wilayah BPN se-Indonesia beserta jajaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *